(dikutip dari Milis Pentakosta)
Ketika bernostalgia di depot soto langganan semasa kuliah,
ternyata yang meracik soto masih bapak yang melayani di sana dua puluh
tahun lalu. “Kok betah, Pak, kerja di sini?” tanya saya dengan kagum.
Jawabannya terdengar sedih, “Yah, bagaimana lagi, Mas, saya tidak punya
ketrampilan lain.” Ah, rasa kagum saya berganti menjadi kasihan. Rupanya
bapak ini sekadar bertahan dalam pekerjaan yang tidak disukainya.
Tidak demikian dengan nabi Yeremia.
Ia mengalami kesulitan selama dua puluh
tiga tahun dalam pelayanan, namun ia tidak bersikap sekadar bertahan.
Kata “terus-menerus” (ay. 3) menunjukkan kegigihannya. Kata Ibraninya
mengandung arti bangun pagi. Istilah ini biasanya digunakan untuk
menggambarkan orang yang akan berjalan jauh dan pagi-pagi benar menata
perbekalan ke punggung unta atau memanggulnya sendiri. Pembaca Yahudi
waktu itu akan mudah mengerti arti konotatif kata ini dan memahami
rahasia kekuatan sang nabi: tiap pagi ia bangun untuk menjumpai Allah
dan mendengarkan FirmanNya, sesudah itu barulah ia melakukan pelayanan,
termasuk menghadapi penolakan orang banyak (ay. 4). Hasilnya? Lima puluh
empat tahun masa pelayanan yang sukar ia jalani dengan tekun! Tidak demikian dengan nabi Yeremia.
Sebagian orang kehilangan gairah hidup dan didera kebosanan baik karena kenyamanan maupun karena penderitaan. Mereka tetap beraktivitas, tapi sebenarnya sekadar bertahan hidup. Mengatasinya? Gunakan resep sang nabi. Nikmati persekutuan dengan Allah yang akan menyegarkan jiwa dan membangkitkan ketekunan kita.
TANPA TUHAN, KITA KEHILANGAN ARAH HIDUP, DAN SEKADAR BERTAHAN.
DENGAN TUHAN, PENYERTAAN-NYA MEMULIHKAN DAN MENYEGARKAN.
DENGAN TUHAN, PENYERTAAN-NYA MEMULIHKAN DAN MENYEGARKAN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar